Terdapat satu hal yang jelas: Joko Widodo (Jokowi) telah memenangkan Pemilihan Presiden Indonesia pada tanggal 9 Juli. Apabila perhitungan formal dan proses tabulasi berjalan tanpa ada kecurangan, dia akan dinobatkan menjadi presiden Indonesia yang baru pada 20 Oktober 2014.
Alasan yang membuat kami bisa yakin dengan hasil ini, walaupun belum ada pengumuman resmi dari KPU adalah adanya Hitung Cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang kredibel di Indonesia. Hitung Cepat dilakukan dengan menempatkan surveyor lapangan di lokasi TPS-TPS yang dijadikan sampel. Pada saat penghitungan suara secara resmi di TPS selesai, surveyor lapangan menyampaikan hasil TPS tersebut ke pusat penghitungan suara lembaga bersangkutan, yang biasanya dilakukan melalui telepon. Apabila penentuan sampel dilakukan dengan benar dan dalam jumlah yang banyak sesuai kaidah statistik serta pencatatan hasil dilakukan dengan akurat, hitung cepat yang terorganisir dengan baik dapat memprediksi hasil akhir dari penghitungan resmi dengan kemungkinan kesalahan (Margin of Error) yang sangat kecil.
Pada hari pemungutan suara, dalam rentang waktu beberapa jam setelah TPS ditutup, delapan lembaga survey telah merilis hasil mereka yang menyatakan bahwa Jokowi memenangkan Pilpres dengan selisih suara yang cukup besar.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Radio Republik Indonesia | 52,7 | 47,3 |
Lingkaran Survey Indonesia | 53,4 | 46,4 |
Populi Center | 51,0 | 49,0 |
CSIS | 51,9 | 48,1 |
Litbang Kompas | 52,3 | 47,7 |
Indikator Politik | 52,9 | 47,1 |
SMRC | 52,9 | 47,1 |
Poltrackting | 53,4 | 46,6 |
Penting dicatat, sebagian besar dari lembaga-lembaga ini telah terkenal dan dihargai atas integritas, profesionalisme dan kemampuan teknis mereka dalam survey metodologis- reputasi ini didapatkan dengan track record menghasilkan hasil hitung cepat yang akurat sejak 2004, pada saat pilpres dan pilkada pertama diberlakukan. Bahkan RRI (Radio Republik Indonesia), saluran resmi pemerintah Indonesia –pendatang baru dalam bisnis hitung cepat- mendapatkan apresiasi atas hitung cepatnya di Pileg 2014; hasilnya ternyata paling mendekati hasil hitungan resmi KPU. Fakta tentang lembaga-lembaga survey yang kredibel menyatakan temuannya bahwa Jokowi memenangkan Pilpres, dan dengan hasil yang relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa secara statistik tidak mungkin Jokowi tidak muncul sebagai pemenang dalam hitungan resmi KPU yang dilakukan tanpa kecurangan.
Berdasarkan hasil hitung cepat tersebut, Jokowi pada tanggal 9 Juli mendeklarasikan kemenangannya dalam Pilpres (walaupun tanpa menggebu-gebu), dia mengingatkan pendukungnya untuk secara cermat mengawasi hitungan resmi surat suara dalam dua minggu ke depan. Tetapi, pada saat yang sama, empat lembaga survey menghasilkan hitung cepat yang menunjukkan kemenangan Prabowo Subianto, walaupun hanya dengan selisih yang lebih tipis.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Puskaptis | 48,0 | 52,0 |
Indonesia Research Centre (IRC) | 48,9 | 51,1 |
Lembaga Survey Nasional (LSN) | 49,5 | 50,5 |
Jaringan Suara Indonesia (JSI) | 49,9 | 50,1 |
Berdasarkan hitung cepat empat lembaga ini, yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan yang memenangkan Jokowi, Prabowo Subianto juga mendeklarasikan kemenangannya. Sebagai konsekuensinya, Indonesia saat ini berada dalam kebingunan politik, ketidakpastian dan bahkan instabilitas, dalam dua minggu menjelang pengumuman hasil resmi yang akan disampaikan oleh KPU pada tanggal 22 Juli.
Bagaimana kebingungan ini bisa muncul? Kita harus menarik garis lurus bahwa hal ini tidak disebabkan oleh adanya lembaga-lembaga survey yang memiliki kredibilitas yang sama yang menghasilkan hasil hitung cepat yang sama legitimasinya. Sebaliknya, kebingungan ini adalah bagian dari strategi yang sengaja diambil untuk mengaburkan hasil pilpres yang sebenarnya membuka ruang untuk mencapai kemenangan melalui cara yang manipulatif, sebuah strategi yang telah lama dipersiapkan. Sebagaimana diketahui umum, salah satu penasehat strategi Prabowo, Rob Allyn, terkenal tidak hanya ahli dengan strategi kampanye negatif tetapi juga dengan memproduksi survey yang menciptakan kesan seolah-olah kandidat yang elektabilitasnya rendah adalah kandidat yang kompetitif, dan menciptakan kebingungan publik untuk melakukan manuver sehingga kandidat yang bersangkutan mendapatkan posisi yang diinginkan. Allyn sudah terkenal melakukan strategi ini di pemilu Meksiko dan sepertinya Indonesia merupakan lahan yang subur untuk melakukan metode yang sama.
Langkah 1: Memperkeruh Statistik
Selama sekitar sepuluh tahun terakhir, selain lembaga-lembaga survey professional yang kredibel, mudah diketahui ada banyak juga organisasi yang muncul di Indonesia yang bersedia merekayasa survey sesuai kebutuhan kliennya, bahkan juga memalsukan surveynya sekaligus. Mereka biasanya melakukannya dalam survey pemilih, dengan asumpsi bahwa sebagian pemilih Indonesia akan cenderung untuk mendukung calon yang diperkirakan akan menang, sehingga melakukan manipulasi survey dapat menaikkan elektibilitas sponsornya.
Walaupun kami tidak memiliki bukti bahwa lembaga survey yang menghasilkan hasil hitung cepat yang memenangkan Prabowo dibayar untuk merekayasa hasil hitung cepat yang mereka lakukan, rekam jejak mereka memberikan banyak alasan bagi kita untuk curiga –bahkan yakin- bahwa manipulasi telah terjadi. Sebagai contoh, salah satu dari organisasi yang disebutkan di atas, LSN (Lembaga Survey Nasional), memiliki rekam jejak yang menghasilkan hasil survey pemilih yang menunjukkan kemenangan Prabowo dan partai Gerindranya dengan selisih yang sangat jauh dibandingkan dengan lembaga survey yang kredibel dan mapan. Pada tahun 2009, LSN memprediksi perolehan suara Gerindra pada pemilu legislatif waktu itu akan mencapai 15,6 % suara – yang ternyata hanya memperoleh 4,5%. Pada pemilu legislatif 2014, LSN mempublikasikan hitung cepat awal yang bahkan dilakukan sebelum TPS ditutup yang menunjukkan Gerindra akan memenangkan pemilu dengan 26,1% suara, nampaknya dengan harapan bahwa pemilih yang belum mencoblos akan terpengaruh dan memilih Gerindra. Kenyataanya, Gerindra memperoleh posisi ketiga dengan 11,8%. Dua hari sebelum hari pencoblosan pemilu presiden, LSN mengeluarkan survey pemilih yang menunjukkan Prabowo memenangkan pilpres dengan selisih 9% suara – walaupun lembaga survey kredibel lainnya menunjukkan Jokowi yang memimpin dengan selisih 2-4% suara.
Puskaptis, lembaga lain yang menunjukkan bahwa Prabowo memenangkan pilpres pada 9 Juli sore, memiliki sejarah serupa yang layak dipertanyakan. Pada tahun 2013, kepala Puskaptis, Husin Yazid, harus diselamatkan dari amukan massa yang murka akibat manipulasinya dalam hitung cepat di Pilkada Sumatra Selatan. JSI (Jaringan Suara Indonesia); dalam pilpres kali ini, hampir tidak memiliki rekam jejak, disamping prediksinya yang salah tentang kemenangan Gubernur Fauzi Bowo melawan Jokowi di Pilgub Jakarta 2012. JSI juga mengklaim pada tahun yang sama bahwa 64% dari penduduk Indonesia menganggap Prabowo paling cocok untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Terakhir, IRC (Indonesian Research Center) dilaporkan dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, konglomerat media yang merapat di kubu Prabowo. Pada Juni 2014, IRC memprediksi bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres melawan Jokowi dengan prosentase 48% berbanding 43% – menggunakan metodologi yang tidak dikatahui sebelumnya: yaitu mengkombinasikan perolehan suara masing-masing kandidat capres dalam survey sebelumnya dalam sebuah indeks dan mendistribusikannya ulang berdasarkan kecenderungan saat ini, apakah mereka memilih Prabowo atau Jokowi. Sangat sulit untuk memikirkan pendekatan yang lebih tidak professional dalam survey pemilih dibandingkan dengan yang ini.
Berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, tidak mengherankan apabila lembaga-lembaga ini menghasilkan hitungan yang kita saksikan pada 9 Juli. Tidak mengherankan juga bahwa semua lembaga ini mempublikasikan temuannya di TVOne –channel TV yang dimiliki sekutu Prabowo, Aburizal Bakrie yang telah menyiarkan secara terang-terangan dukungan kepada Prabowo selama pilpres. Menjelang 9 Juli, TVOne menandatangani kontrak eksklusif dengan Poltracking, lembaga survey baru dengan reputasi baik. Pada hari pemungutan suara, sayangnya, Poltracking diberi tahu oleh TVOne bahwa lembaga survey lain akan ikut hitung cepat yang disiarkan oleh TVOne. Mengetahui reputasi lembaga-lembaga ini yang dipertanyakan, Poltracking memutus kontrak dengan TVOne pada 9 Juli 2014 jam 10.00 pagi. Poltracking kemudian mengumumkan hasil hitung cepat, seperti lembaga kredibel lainnya, bahwa Jokowi memenangkan pilpres. Lembaga lainnya, seperti telah dijelaskan di atas, mengikuti keinginan TVOne dan mempublikasikan hasil hitung cepat yang telah termanipulasi yang memenangkan Prabowo.
Langkah 2: Curi hasilnya.
Untuk apa melakukan manipulasi terhadap hitung cepat? Masyarakat sudah mencoblos, jadi melakukan manipulasi tidak akan mempengaruhi pilihan pemilih atau elektibilitas seorang capres lagi. Dengan demikian, tujuannya sangat jelas: untuk mengulur waktu dan menciptakan kebingunan publik tentang hasil pilpres, dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi metode lain untuk memproduksi kemenangan melalui hitungan resmi.
Terdapat dua langkah yang kemungkinan bisa dilakukan Prabowo untuk memenangkan pilpres saat ini. Yang pertama adalah menunggu pengumuman resmi dari KPU lalu mengajukan banding sengketa pemilu ke Mahkamah Konsitusi. Selisih peroleh suara yang memenangkan Jokowi, sepertinya, menunjukkan bahwa jika toh akhirnya kubu Prabowo bisa menunjukkan bukti kesalahan administrasi perhitungan di beberapa tempat – yang pasti akan dapat dilakukannya karena pemilu di Indonesia tidak steril dari kesalahan dalam penghitungan- hal ini tidak akan dapat membalikkan hasil pemilu melalui keberatan formal. Berdasarkan quick count dari lembaga yang kredibel, keunggulan Jokowi diperkirakan sekitar 6,5 juta suara; sehingga Prabowo harus membalikkan sekitar 3,3 juta suara untuk bisa mendapatkan posisi seimbang dengan Jokowi atau menang tipis. Tidak ada keputusan Mahkamah Konstitusi, baik dalam kasus lokal atau nasional, yang pernah membalikkan sedemikian banyak suara dari satu kandidat ke kandidat lainnya. Dalam kasus yang sangat jarang, MK memutuskan untuk memindahkan beberapa ratus atau ribu suara- tetapi tidak dalam skala sebesar ini. Dalam kasus lain yang serupa, MK akan meminta pemilihan ulang di beberapa tempat, tetapi umumnya akan dilakukan di beberapa TPS atau kabupaten saja.
Hal ini menyisakan satu pilihan terakhir: manipulasi terhadap penghitungan suara resmi dan proses tabulasi suara. Kita belajar dari pemilu Indonesia yang lain- khususnya dari pileg yang terakhir bulan April- bahwa jual beli suara dalam proses penghitungan terjadi di banyak tempat. Sebagian calon legislatif atau caleg pada waktu itu berhasil menyuap penyelenggara pemilu di berbagai level – mulai dari TPS dan terus berjenjang ke desa, kecamatan, kabupaten/kota lalu ke tingkat provinsi- untuk mengalihkan suara dari satu partai atau caleg ke partai atau caleg lainnya, menggelumbungkan suara dengan menggunakan surat suara kosong yang diperuntukkan bagi pemilih yang tidak datang ke TPS atau melakukan manipulasi lainnya. Pada pileg bulan April, penyelewengan terjadi sangat massif tetapi memiliki dampak yang sangat kecil terhadap perolehan total suara masing-masing partai secara nasional karena caleg dari semua partai terlibat dalam penyelewengan suara dalam pola yang terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi.
Belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman demokrasi Indonesia seorang capres dapat mencuri kemenangan dalam pilpres. Tetapi patut dicurigai bahwa kubu Prabowo sedang mempersiapkan langkah tersebut. Terutama di tempat-tempat yang rawan (seperti di Pulau Madura), dimana pendukung Prabowo mendominasi struktur politik lokal dan dimana kubu Jokowi atau PDIP-nya hanya memiliki sedikit saksi untuk mencatat hasil pemilu pada saat penghitungan suara di TPS (Exit Poll menunjukkan bahwa Prabowo memiliki saksi di 88% dari seluruh TPS sementara Jokowi hanya memiliki saksi di 83% TPS). Manipulasi juga sangat mungkin terjadi di daerah-daerah dimana gubernur dan walikota atau bupatinya adalah pendukung Prabowo, mereka dapat memberikan tekanan kepada aparat pemerintah lokal untuk mengintervensi penghitungan suara.
Kemana Sekarang?
Selama kampanye pilpres, Prabowo menempatkan diri sebagai seorang demokrat. Bahkan, dia memprotes berkali-kali atas persepsi dirinya sebagai seorang “diktator”- termasuk dalam pesan Facebook terakhirnya kepada para pendukungnya sebelum pilpres, dia memprotes gambaran dirinya sebagai orang yang tidak demokratis, walaupun Prabowo tidak menjelaskan siapa yang memberinya gambaran tersebut. Dengan adanya manipulasi hitung cepat dan perang opini tentang siapa sebenarnya yang menang pilpres, Prabowo memberikan alasan kuat bagi kita untuk berasumpsi bahwa dia berpotensi menjadi seorang otokrat yang tidak memiliki penghargaan atas keinginan rakyat dan tidak akan berhenti sampai mendapatkan kekuasaan.
Menurut kami, kalaupun terjadi, upaya untuk mencuri pilpres akan gagal. Skala kemenangan Jokowi cukup besar sehingga terlalu banyak suara yang harus dibalik untuk memenangkan Prabowo. Tetapi kita tidak bisa sangat yakin atas kesimpulan ini: apa yang kita ketahui tentang latar belakang Prabowo, sejarah manipulasi penghitungan dan tabulasi suara di pemilu atau pilkada lainnya di Indonesia, lemahnya monitoring saksi PDIP, kuatnya jaringan politik Prabowo di daerah dan melimpahnya dana yang dimilikinya, menunjukkan bahwa kubu Prabowo sangat berpotensi untuk melakukan langkah terorganisir untuk mengubah hasil pilpres. Walaupun untuk melakukannya tentu tidak mudah. Skala manipulasi yang besar akan membutuhkan cara-cara yang akan sangat mudah dideteksi dan akan membangkitkan perlawanan dari pendukung Jokowi. Kalau ada kecurangan dalam skala yang signifikan, konflik politik akan sulit terhindari.
Demokrasi Indonesia belum lepas dari bahaya. Dalam beberapa posting sebelumnya (disini, disini dan disini), kami sudah berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia paska Suharto berada dalam bahaya jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Sekarang sudah muncul indikasi bahwa setelah gagal terpilih, sedang dipersiapkan langkah untuk merongrong institusi demokrasi sebagai bagian untuk merengkuh kekuasaan.
……………
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner adalah peneliti politik Indonesia di Department of Political and Social Change di Australian National University, pada College of Asia and the Pacific.
Versi asli dari artikel ini, yang diterbitkan pada tanggal 10 Juli, bisa dibaca di sini.
Article translated by Bayu Dardias.