Michael Buehler memberikan respon tambahan yang penting untuk artikelnya yang sebelumnya dimuat di New Mandala berjudul, ‘Menunggu di Lobi Gedung Putih‘.
Pada 6 November 2015, sebuah artikel saya dimuat oleh website New Mandala milik Australian National University. New Mandala adalah sebuah forum yang sering digunakan para Indonesianis untuk mengangkat isu-isu penting terkait politik, ekonomi, dan social-kemasyarakatan. Artikel saya tersebut mengajukan beberapa pertanyaan penting berkaitan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat beberapa minggu yang lalu.
Dalam tulisan tersebut, saya mengutip sebuah dokumen yang sudah berada di ranah publik, dan bisa diakses oleh siapapun, sejak 17 Juni 2015. Dokumen ini bisa diunggah dari situs UU Pendaftaran Agen Asing milik Departmen Kehakiman AS sebagaimana bisa dilihat di halaman ini: http://www.fara.gov/docs/6229-Exhibit-AB-20150617-3.pdf. Ia merupakan sebuah arsip online yang wajib dilaporkan kepada Departemen Kehakiman.
Selama 10 tahun terakhir, sebagaian besar penelitian yang saya lakukan terkait dengan isu-isu politik daerah, sistem pelayanan kesehatan, dan proses pembuatan kebijakan di Indonesia selalu bersinggungan dengan masalah transparansi dan akuntabilitas. Tak mengherankan memang jika para akademisi yang meneliti dan menganalisis topik-topik seputar ini akan bersentuhan dengan isu pertanggungjawaban publik.
Terkait dengan kontroversi yang muncul, saya ingin menglarifikasi dulu. Beberapa media di Indonesia telah memberitakan isi artikel saya secara tidak akurat. Beberapa media menyebut bahwa pertemuan Presiden AS Obama dan Presiden Indonesia Joko Widodo didesain oleh lobi tertentu. Padahal sinyalemen tersebut tidak ada sama sekali dalam artikel saya. Saya tidak mengklaim bahwa jasa pelobi tersebut digunakan untuk merumuskan pertemuan antara Joko Widodo dan Barack Obama. Kita semua tahu bahwa Presiden Obama mengundang Presiden Jokowi ke Amerika Serikat, dan kunjungan ini sudah dikonfirmasi sebelum penandatanganan kontrak kerjasama jasa lobi yang saya sebutkan di artikel saya.
Terlepas dari itu, sungguh aneh karena tidak ada orang yang mempertanyakan mengapa pernyataan resmi Pemerintah Indonesia atas kontroversi ini bertentangan dengan informasi yang termaktub dalam Services Agreement, sebagaimana terdaftar di situs resmi Pemerintah AS. Pemerintah Indonesia membantah telah menyewa pelobi–padahal, kontrak tersebut sangat jelas menyatakan bahwa seorang pelobi “dipekerjakan sebagai konsultan oleh lembaga eksekutif Pemerintah Indonesia”. Berbohong dalam dokumen resmi ini merupakan sebuah tindakan pidana di AS, yang membawa hukuman paling berat lima tahun di penjara.
Sangat jelas bahwa dokumen resmi yang didaftarkan ke Departemen Kehakiman AS pada 17 Juni 2015 merupakan sebuah Services Agreement antara perusahaan konsultan asal Singapura, Pereira International PTE LTD, dan perusahaan pelobi asal Las Vegas, yaitu R&R Partners.
Menurut Services Agreement ini, Pereira International PTE LTD seolah membeli jasa atau layanan lobi yang akan dilakukan R&R Partners dengan kesepakatan harga US$80,000. Dokumen ini menyebut, antara lain, bahwa:
“Pihak Asing [Pereira–red] telah diperkerjakan sebagai konsultan oleh sayap eksekutif pemerintah Indonesia. Pihak Asing telah mempekerjakan Pendaftar [R&R–red] sebagai subcontractor untuk menyediakan, lewat Pihak Asing, jasa di Amerika Serikat untuk [melayani] pemerintah luar. Komunikasi dan pengarahan pokok Pendaftar bakal dari Pihak Asing.’
Kutipan dari dokumen asli bisa dilihat di bawah:
Sumber: http://www.fara.gov/docs/6229-Exhibit-AB-20150617-3.pdf
Pihak Asing terdaftar di Poin 10 sebagai ‘Derwin Pereira, CEO’.
Kutipan dari dokumen asli di bawah:
Sumber: http://www.fara.gov/docs/6229-Exhibit-AB-20150617-3.pdf
Dalam Poin 8 dalam bagian informasi ‘Eksekusi’ Services Agreement, disebutkan bahwa:
“Pendaftar [R&R–red] akan menyediakan jasa konsultasi dan lobi kepada Pihak Asing mengenai klien Pihak Asing, yaitu Republik Indonesia. Termasuk pelayanan ini:
–Mengatur dan menghadiri pertemuan dengan para pembuat kebijakan penting, anggota Kongres, dan anggota lembaga eksekutif termasuk Departemen Negara,
–Berusaha untuk mengkonfirmasi kesempatan untuk berpidato pada sesi gabungan Kongres pada saat kunjungan Presiden Widodo ke AS,
–Mengidentifikasi dan bekerjasama dengan figur-figur berpengaruh, media massa, dan organisasi, baik publik maupun swasta dan lain-lain di AS untuk mendukung program Presiden Widodo.
Kutipan dari dokumen resmi di bawah:
Sumber: http://www.fara.gov/docs/6229-Exhibit-AB-20150617-3.pdf
Pada Sabtu, 7 November 2014, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan bahwa baik Kementerian Luar Negeri maupun lembaga negara yang lain tidak menyewa jasa pelobi. Ini jelas kontradiktif dengan isi Services Agreement yang didaftarkan ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat.
Secara konkrit, Rilis Media Kementerial Luar Negeri tanggal 7 November 2015 menyebut bahwa:
“7. Pemerintah RI tidak menggunakan jasa pelobi dalam mengatur dan mempersiapan kunjungan Presiden ke Amerika Serikat. Kementerian Luar Negeri juga tidak pernah mengeluarkan anggaran Kementerian untuk jasa pelobi namun memahami bahwa penggunaan jasa pelobi merupakan bagian nyata dari dunia politik di Amerika Serikat dan seringkali digunakan oleh pemangku kepentingan dan Pemerintah negara-negara lain di dunia untuk memajukan kepentingan mereka di Amerika Serikat.”
Pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel saya tanggal 6 November 2015 adalah:
1) Siapa dalam pemerintahan Joko Widodo yang meminta Derwin Pereira untuk membayar $80,000 kepada perusahaan jasa lobi, R&R Partners?
2) Apakah benar ada uang rakyat Indonesia yang digunakan untuk menyewa perusahaan jasa lobi asal Las Vegas dalam melakukan kegiatan yang dengan mudah bisa dilakukan oleh KBRI di AS?
3) Apakah semua langkah tadi telah dilakukan secara terkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, atau apakah ini merupakan sebuah usaha untuk ‘melangkahi’ Kemlu?
4) Kalau benar demikian, apakah Presiden Jokowi benar-benar mengendalikan pemerintahan sendiri? Kalau tidak, apakah ada banyak kelompok kepentingan di dalam lingkaran dekat presiden yang saling bersaing satu sama lain?
Pertanyaan ini belum dijawab.
Pada 8 November 2015, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington turut membantah bahwa Pemerintah Indonesia menyewa pelobi.
Sumber: http://ksp.go.id/keterangan-pers-kbri-washington-dc/
Ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan lagi:
1) Jika memang Pemerintah Indonesia tidak menggunakan kelompok atau individu pelobi, lalu siapa yang membayar Pereira PTE LTD di Singapura dan R&R Partners di Las Vegas?
2) Apakah klaim Pereira LTD bahwa mereka disewa oleh pemerintah Indonesia itu tidak benar atau bohong belaka?
3) Jika memang Pereira mengklaim secara tidak benar bahwa ia disewa oleh Pemerintah Indonesia, akankah Pemerintah menyelidiki dan mengambil tindakan?
Pernyataan yang tidak akurat atau curang adalah ilegal menurut UU Pendaftaran Agen Asing (Foreign Agents Registration Act, FARA) seperti yang disebut di kutipan ini:
ENFORCEMENT AND PENALTIES
Any person who willfully violates any provisions of this Act or any regulations thereunder, or in any registration statement or supplement thereto or in any other documents filed with or furnished to the Attorney General under the provisions of this Act willfully makes a false statement of a material fact or willfully omits any material fact required to be stated therein or willfully omits a material fact or a copy of a material document necessary to make the statements therein and the copies of documents furnished therewith not misleading, shall, upon conviction thereof, be punished by a fine of not more than $10,000 or by imprisonment for not more than five years. For some offenses the punishment shall be a fine of not more than $5,000 or imprisonment for not more than six months, or both.
Sumber: http://www.fara.gov/enforcement.html
Peran pokok akademisi adalah mengajukan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, dengan menggunakan data dan dokumen publik yang bisa diverifikasi. Saya sama sekali tidak punya kepentingan partisan; tudingan begitu hanya sebuah upaya pengalihan isu dari debat penting tentang transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
Dr Michael Buehler
BSc (Zurich); MSc (LSE); PhD (LSE)
Department of Politics and International Studies
School of Oriental and African Studies (SOAS)
University of London
Thornhaugh Street
Russell Square
London WC1H 0XG
Mengunggah artikel ini dalam format PDF di sini. Membaca pernyataan ini dalam Bahasa Inggris di sini.